Thursday, December 14, 2017

Relevankah Pembiayaan Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera oleh Jokowi dan Jepang ?

Masa Pemerintahan Jokowi lebih fokus dalam pembangunan infrastruktur. Salah satunya adalah Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS). Proyek tersebut direncanakan memiliki panjang 2.048 km yang menghubungkan Aceh hingga Lampung. Kemudian untuk rencana nilai investasi tol ini sekitar Rp 439,53 triliun yang meliputi pembebasan tanah, konstruksi, dan investasi. Permasalahan pembiayaan berdasarkan sumber media yang saya peroleh adalah Jokowi merasa bahwa pembiayaan proyek tersebut masih kurang dalam memenuhi jalan tol tersebut sebab JTTS ini direncanakan akan rampung sebelum ASIAN Games 2018. Sri Mulyani juga menyatakan bahwa sumber pendanaan tidak bisa berasal dari satu sumber saja sehingga sumber dana proyek yang telah digunakan berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), LPAM (Lembaga Manajemen Aset Negara), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan private.
Pihak yang terlibat dalam Proyek Jalan Tol Sumatera terbagi menjadi 2 yaitu pihak yang sedang terlibat dan pihak yang kemudian akan dilibatkan dalam proyek tersebut. Pihak yang sedang terlibat yaitu terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Lampung, LPAM, dan BUMN seperti PT Hutama Karya (Persero), PT Pembangunan Perumahan (PP), PT Waskita Karya, PT Wijaya Karya, dan PT Adhi Kaya. Pihak yang kemudian akan dilibatkan dalam proyek tersebut oleh Jokowi adalah JICA (Japan International Cooperation Agency), yaitu lembaga yang didirikan oleh Pemerintah Jepang untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang.
Jokowi memberi tawaran kepada JICA guna mempercepat realisasi proyek tersebut. Jika JICA menerima tawaran tersebut, JICA akan menerapkan beberapa kebijakan tertentu dalam memberikan pinjamannya. Kebijakan tersebut terbagi menjadi 2 yaitu tight loan policy dan untight loan policy. Tight loan policy merupakan kebijakan bunga pinjaman yang diberikan antara 0,1% hingga 0,25 % dengan jangka waktu yang sangat panjang. Suku bunga rendah tersebut bisa dikatakan hampir gratis dengan risiko seluruh pengerjaan proyek harus disediakan oleh JICA seperti dari suppliernya. Kebijakan kedua yaitu untight loan policy, merupakan kebijakan yang pengerjaan proyek bisa dilakukan oleh siapa saja dengan risiko suku bunga yang relatif lebih tinggi, yaitu 0,6 % hingga 1,2 %.
Pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan kawasan perbatasan merupakan salah satu jabaran dari Nawa Cita ketiga, yaitu “Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Sehingga pembangunan infrastruktur menjadi salah satu fokusan yang sedang digencar oleh masa Pemerintah Jokowi. Jalan Tol Trans Sumatera merupakan salah satu Mega Proyek pembangunan infrastruktur yang menghubungkan Aceh hingga Lampung di Pulau Sumatera. Proyek ini mulai dibangun sejak tahun 2014 yang bekerjasama dengan pihak seperrti yang disebut di atas. Namun pada tahun ini, pembiayaan pembangunan tol ingin dipercepat guna dapat diresmikan pada ASEAN Games 2018 sehingga Presiden Jokowi memberikan tawaran kepada JICA supaya proyek tersebut segera rampung. Untuk mensukseskan program tersebut, tidak membutuhkan dana yang sedikit dan alternatif yang akan direncanakan pemerintah adalah pinjaman luar negeri. Peminjaman telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2011 tentang Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
Berdasarkan APBN 2017, pembiayaan infrastruktur untuk JTTS ruas Bakauheni-Terbanggi Besar sebesar 2 Triliun Rupiah. Artinya, mengandalkan dana APBN saja tidak cukup sehingga pinjaman luar negeri sebagai solusi menyelesaikan pembangunan tersebut. Tetapi jika dikaitkan dengan pembiayaan oleh JICA, jalan yang difokuskan adalah ruas Padang-Pekanbaru. Berdasarkan http://industri.bisnis.com, Direktur Utama PT Hutama Karya I Gusti Ngurah Putera menjelaskan kebutuhan investasi tol Padang-Pekanbaru yaitu 35 triliun karena memiliki jarak yang panjang degan topografi yang cukup menantang dan memakan waktu sekitar 5 tahun. Tetapi pihak JICA belum memastikan besaran dana yang akan dipinjamkan untuk pembangunan tersebut.
Permisalan saja, pihak JICA setuju membiayai 100% proyek tersebut. Artinya, Indonesia harus mengembalikan 35 Triliun Rupiah diiringi dengan suku bunga. Jika pemerintah menggunakan Tight loan policy, maka bunga pinjaman yang diberikan antara 0,1% hingga 0,25 % dengan jangka waktu yang sangat panjang. Artinya, bunga perbulannya sekitar 2,3 Miliar Rupiah (Jika menggunakan bunga 0,1 % per 1 tahun). Kemudian untuk untight loan policy, maka bunga pinjaman yang diberikan antara 0,6 % hingga 1,2 % dengan jangka waktu singkat. Artinya, bunga perbulannya sekitar 13 Miliar Rupiah (Jika menggunakan bunga 0,6 % per 1 tahun). 
Menurut saya, Mega Proyek ini dirasa terburu-buru sebab Indonesia belum siap terutama mandiri secara finansial.  Jika hanya dilihat dari APBN saja masih kurang untuk melunasi bunga per tahunnya, penulis lebih setuju jika pinjaman luar negeri  digunakan untuk pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan dan pedalaman Indonesia. Pinjaman Luar Negeri sebenarnya dapat mendorong aktivitas ekonomi pemerintah karena pembangunan infrastruktur diharapkan dapat berkelanjutan yaitu melancarkan arus transportasi barang dan jasa sehingga akan mendorong ekonomi rakyat ke arah yang lebih baik. Namun yang dikhawatirkan dalam jangka panjang, peminjaman ini menimbulkan beban ekonomi yang harus diterima rakyat ketika mengembalikan pinjaman tersebut. Selain itu, sifat ketergantungan terhadap negara kreditur semakin besar sehingga menjadi beban psikologis pula bagi negara debitur. Ditambah dengan adanya potensi untuk ajang korupsi dari pihak mana saja. 

Sumber:
Ant. 2017. Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera Terus Dikebut. https://economy.okezone.com/read/2017/02/07/320/1612069/pembangunan-jalan-tol-trans-sumatera-terus-dikebut, diakses 28 September 2017.
Direktorat Penyusunan APBN. (2017). Informasi APBN 2017. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran.http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/publikasi/2016%20BIB%202017.pdf, diakses 06 Oktober 2017.
Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.

Tuesday, March 28, 2017

Peta Deliniasi dan Deskripsi Batasan Wilayahnya.

Kota Jayapura berada di wilayah Indonesia bagian Timur, tepatnya berada di bagian Utara dari Provinsi Papua pada 1°28’17,26”-3°58’0,82” LS dan 137°34’10,6”- 141°0’8,22” BT dengan Luas Wilayah 940 km2 (0,3 % dari luas daratan Provinsi Papua). Berikut merupakan batas Kota Jayapura :
  • Sebelah Utara        : Lautan Pasifik
  • Sebelah Selatan    : Kabupaten Keerom
  • Sebelah Timur       : Negara Papua New Guinea
  • Sebelah Barat        : Kabupaten Jayapura

Kota Jayapura resmi ditetapkan sebagai wilayah administratif tanggal 14 September 1979 dan berubah status menjadi Kotamadya tahun 1993 berdasarkan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1993 dengan 4 (empat) distrik, yaitu Distrik Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura, dan Muara Tami.

Dalam perkembangannya, wilayah administrasi Kota Jayapura telah dimekarkan menjadi 5 distrik, yaitu Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura, Heram, dan Muara Tami, serta terbagi menjadi 25 kelurahan dan 14 kampung yang terdiri dari 12 kampung yang dianggap kampung asli (Port Numbat), dan 2 lokasi kampung adalah lokasi yang dikembangkan menjadi pemerintah kampung oleh penduduk asli yaitu kampung Holtekam dan kampung Koya Tengah.


Kota Jayapura tidak hanya mencakup wilayah daratan, tetapi juga wilayah laut dan pulau-pulau kecil yang ada dalam batas wilayahnya. Menurut RTRW Provinsi Papua 2010-2030, luas wilayah laut di Kota Jayapura adalah 2,81 km2 dan panjang garis pantai 116, 77 km. Berikut merupakan pulau-pulau kecil di Kota Jayapura :